Rabu, 16 Mei 2012

Home is where your heart is

Masih lekat dalam ingatan beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Sabtu selepas menghadiri TEDxUnpad aku diajak Dimas Prabowo, mampir kerumah salah seorang sahabatnya yang terletak di dekat Ciumbuleuit ujarnya.

“Mereka suka ngajar anak-anak kecil disekitar rumah, Fan. Kamu juga suka ngajar kan? Bantuin mereka yuk!”

Entah aku yang terlalu pikun untuk mengingat apa aku pernah berujar seperti itu pada Dimas tapi yang jelas ‘todongan’ itu seperti menjadi tantangan untukku sore itu. Baiklah ketika aku bertanya siapa nama sahabat Dimas yang rumah nya akan kita sambangi sore itu, aku terkejut.

Tito Tessa, Fan. Mereka pasangan. Teman dekatku dari Rainbow Gathering kemarin.”
Wait, aku terpekik dalam hati. Bandung memang selalu mengejutkan dengan seberapa dekat lingkaran hubungan antar manusia di dalamnya. Baru beberapa hari yang lalu aku like FB page Tito-Tessa dan mereka temannya Toro juga ternyata. Ah, kesampingkan dulu kemungkinan mereka temannya temanku yang lainnya (mulai rumit bahasaku).

Kejutan berikutnya hadir ketika aku dan Dimas turun angkot tidak persis di jalan Ciumbuleuit, melainkan sebelum gandok, di jalanan menurun masuk gang perkampungan bantaran sungai cikapundung yang selama ini hanya kulihat dari kaca angkot setiap menuju simpang dago ataupun ITB sana.

Menuruni jalan, seperti memasuki sebuah kota kecil di dalam kota Bandung yang fana ini (ceilah). Seperti perkampungan pada umumnya, rumah kecil berhimpitan, jalan yang masih didominasi oleh tanah dan kontur jalan yang membuat kami seperti sedang olahraga sore. Naik turun dan cukup meliuk kedalam. Sekitar 10 menit kemudian sampailah didepan sebuah pintu berwarna hijau pekat dengan dinding rumah warna putih. Hatiku kembali berbunyi genderang perang. Deg-degan. Aku tipe yang pemalu kalau ketemu orang yang aku kagumi (lebay).

Sampai di dalam aku berkenalan dengan Tito dan Tessa, bercerita banyak dan aku jatuh hati pada pasangan ini. Mereka merendahkan hati untuk meninggalkan kostan masing-masing untuk kemudian tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan sederhana. Mereka membuka sebuah sekolah sore dengan 2 sesi kelas untuk adik-adik kecil mulai jam 4 sore, lalu yang usia SD kelas 4-6 setelah maghrib.

Ide untuk membuka kelas les gratis untuk anak-anak sekitar kontrakan mereka ini spontan dilakukan oleh Tito sekitar 2 minggu yang lalu. Tapi mereka tidak main-main. Tito-Tessa melakukan dengan sepenuh hati. Tessa yang memang punya background mengajar anak-anak kurang beruntung sejak di Jakarta, menyiapkan segala keperluan mengajar dengan sempurna. Termasuk memboyong semua koleksi buku masa kecilnya, menyiapkan papan tulis, kertas lipat hingga buku absen & nilai.

Awalnya aku hanya berniat membantu sedikit, semampuku, ikut berbagi gelak tawa dengan mereka. Ternyata aku tak kuasa. Aku ikut larut dengan kehadiran sekitar 10 adik kecil yang semangat sekali sore itu. Sementara Tessa memeriksa pekerjaan rumah mereka (ya, Tessa selalu memberi mereka PR) aku mengajak mereka mengobrol dan akhirnya mereka mengelilingiku. Tidak menganggap asing kehadiranku yang baru sekali itu. Aku mengajak mereka menyanyi, kemudian dituruti oleh Tessa juga. Ia dengan sigap mendampingiku namun tidak membatasi ruang gerakku bersama anak-anak. Rasa kagum pun kembali kurasakan saat Tessa bisa dengan tegas menegur dan mendidik mereka dengan disiplin. Terlebih Tessa juga mengajarkan untuk memulai kelas dengan membaca bismillah dan Al-Fatihah.

Sore itu menjadi pengalaman paling menyenangkan yang kurasakan bersama teman baru dan pengalaman baru. Kuedarkan pandanganku mengelilingi rumah sederhana namun bersahaja ini. Di beberapa sudut terdapat guratan garis hitam yang dibuat oleh Tessa, kontras dengan satu sudut penuh kertas lipat warna-warni hasil karya Tito-Tessa dan anak-anak. Di satu sisi dinding, terpampang dengan cantik sebuah peta Indonesia dengan media kain dan batik. Dikelilingi oleh lampu berkerlip cantik seperti lampu di pohon natal. Saat bercerita tentang pengalaman jalan-jalan, Dimas kemudian mematikan lampu ruangan dan hadirlah kerlap kerlip cantik bagai bintang di langit, cahaya dari lampu natal tersebut. Anak –anak semakin larut dalam cerita.

Sebait kalimat tepat diatas peta Indonesia & lampu natal tersebut yang membuat pandanganku lama terdiam disana.

“Home is where your heart is”

Kalimat itu tidak terdengar asing di telingaku. Namun membacanya di rumah ini, bersama dengan Dimas, Tito, Tessa dan dikelilingi oleh anak-anak membuatku darahku berdesir. Rumah ini tidak memiliki barang mewah, melainkan ‘sedikit’ berantakan dan sederhana khas mahasiswa, mencerminkan sang pemilik rumah. Tapi kebahagiaan seolah menyelimuti dan memenuhi setiap ruangan di rumah ini. Kehangatan celoteh Tessa, petikan gitar dan sunggingan senyum Tito membuat aku seperti memiliki ‘rumah’ baru. Ya, rumah itu dimana ketika kita merasa hangat dan nyaman didalamnya.

Terima kasih Dimas sudah mengenalkanku pada Tito, Tessa dan segala kebaikan mereka untuk menerimaku dengan tangan terbuka sekaligus ‘menodongku’ untuk membantu mengajar, hehe. Semoga aku bisa segera bertemu lagi dengan kalian. Semoga kita saling merindu untuk kemudian bertemu kembali dan berkelakar hingga pagi. sayang sekali kemarin aku tak sempat mengambil gambar. alhasil ini aku kenalkan Tito-Tessa secara virtual dengan foto mereka saja ya :)


you'll find your home if you open your heart

Tidak ada komentar:

Posting Komentar