Rabu, 13 Maret 2013

Fanni & Rofida Project #2 : Percikan


Duaar. Kilatan cahaya menyambar diatas kepalaku. Semburan lengking terompet kertas memekakkan telinga. Celoteh dan gelak tawa riang seolah tanpa beban. Aku meneguk pelan soda dalam gelas plastik. Selamat tahun baru 2014, si pembawa acara melengkingkan suaranya, tak mau kalah dengan riuh rendah suasana.


Masih lekat dalam ingatan, bagaimana hari ini dimulai. Aku mengantar pesanan roti dan kue. Mereka begitu manis sampai aku ingin menggigitnya lalu menaruhnya kembali dalam keranjang. Tapi itu mustahil mengingat kiriman ini untuk pelanggan tetap ibuku. Seperti biasa Tante Marlina akan memesan kue bolu coklat dengan taburan buah dan krim untuk acara special macam hari ini. Doaku cuma satu, semoga yang membuka pintu bukan si kacamata tanpa raut bahagia, Sam. 

Fyuh, rupanya Mba Kirana, anak pertama yang tengah menempuh pendidikan profesi dokternya yang membuka pintu. Aku diajaknya masuk, seperti biasa langsung ke ruang makan. Melewati ruang keluarga dengan sejumput rambut hitam yang menyembul dari balik sofa. “Makasih ya Kimi sayang, nanti malam kamu datang jam berapa sama mamah?” 

“Aku sepertinya ada acara, tante. Mamah sama Mas Indra mungkin yang kesini. Makanya aku yang anter kuenya sekarang.” Sedikit berkilah ditambah senyum semanis mungkin. Tidak mungkin Tante Marlina tidak memakluminya.

“Sam. Kamu nanti malam juga mau keluar kan? Sekalian antar Kimi ya. Mas Indra kan nanti kesini, kasian Kimi gak ada yang antar.” 

“He? Mau cabut jam berapa lo Kim?” si empunya suara kemudian mendekat. Tetap dengan rautnya seperti biasa. Walaupun hari ini dia terlihat sedikit berbeda. Oh iya, frame kacamatanya baru. 

“Jam delapan deh. Makan malam disini dulu ya, Tante? Gak apa?” 

Sam mengangguk dan ngeloyor masuk ke kamar. Aku berpamitan.

--

Mobil melaju konstan. Malam ini Sam akan mengantarku ke sebuah restaurant kecil namun intim milik sahabatku. Dengan ujung mata aku mencoba menangkap pemandangan langka di sebelahku. Tetap Sam, dengan rambut hitamnya yang rapih dipangkas pendek,  setelan kemeja biru muda berbalut sweater hijau tua bermotif coklat dan celana jeans gelap. Wangi parfumnya mengisi rongga paru – paruku tanpa protes karena wanginya segar dan menyenangkan (wait, aku baru saja berpikir wangi Sam menyenangkan? Oh God). Sepatunya adalah model yang sudah lama kuincar di toko sepatu langgananku. Blah kenapa dia harus punya duluan, pikirku. Dan bisa saja dia memutar lagu Tame Impala favoritku. Sambil melamun aku menyanyi Feels Like Only Go Backwards. Mencoba membagi konsentrasi.

Diantara deret detail tersebut tersisa sesuatu yang janggal. Nampak seutas senyum tipis namun terus mengembang sepanjang perjalanan. Membaca pikiran adalah hal paling ingin kuinginkan sekarang. Apa dia menertawakan bajuku? Atau sepatu kanvasku yang sudah buluk ini? 

“Kita sudah sampai, Nona Kimi. Jangan ada yang tertinggal.” Aku terjaga dari lamunan dan bergegas mengambil tas di jok belakang. Sam menuju pintu reataurant dan mengunci pintu mobil dengan remote. Apa –apaan dia ikut masuk, pikirku. 

Pertanyaanku terjawab saat Utari mengecup pipi kiri Sam. Well done, sahabatku itu menyimpan sesuatu yang lebih spektakuler ketimbang pesta kembang api dan sajian special makan malam special. 

“Kim, kamu temannya Sam kan jadi nggak usah aku kenalin lah ya.”
“Iya, Tari. Surprise banget ya kamu belum cerita.” 

Tari tertawa kecil, “Surprise dong Kim, tapi selama ini Sam cerita tentang kalian kok. Jadi aku juga bisa santai dan gak berniat buru – buru cerita. Toh malam ini kita semua kumpul kan”

Aku menuju meja dengan deretan minuman memenuhi permukaan. Mendadak aku rasanya ingintiduran dirumah dan memutar musik kencang – kencang. Tapi terlambat, Utari memanggil untuk bergabung memulai acara. Soda itu kutuang penuh kedalam gelas. Kuteguk perlahan. Ini akan jadi malam yang panjang.

--

Jadi senyum itu untuk Utari, jadi selama ini aku menyimpan rasa pada Sam. Jadi selama ini aku rindu kalau tidak mengantar pesanan kue Tante Marlina. Jadi aku di mobil mengagumi penampilannya dan membayangkan ia akan menatap kearahku, senyumnya untukku. Jadi aku terlambat. Jadi aku harus menyembunyikan kekecewaan pada Utari dan mendukung mereka dengan senyum tulus.

Duarr, ini sudah gelas soda ketiga. Mari kembali kedalam ruangan. Kilatan cahaya kembang api diatas kepala membuat wajahku terang akan cahaya dan menyilaukan mata. Hingga tak bisa menyembunyikan kesedihan atas apa yang terjadi malam ini. Sayup sayup kudengan pembawa acara bersorak “Mari kita sambut tahun baru yang penuh harapan.”

Blah, aku mengunci pintu kamar mandi dan membiarkan dua butir air mata mengalir perlahan.
-----

"ini adalah project Fanni & Rofida Amalia. Dua perempuan yang belum pernah bertatap muka namun saling mengenal satu sama lain melalui komunitas bernama @cardtopost. Kegemaran Rofida mengirimi Fanni kartupos dengan hasil jepretan pribadinya membuat Fanni tertarik untuk 'melantunkan kalimat' melalui gambar - gambar pilihan Rofida. Setelah berbalas kartu ketiga, Fanni memberanikan diri untuk 'meminang' foto Rofida dan menjadikannya sebuah project suka suka nan bahagia. Sejatinya hanya ingin kembali menulis melalui dorongan gambar indah dan menjalin silaturahmi 'naik tingkat' setelah melalui kartupos. Semoga berkenan. Salam, Fanni & Rofida."

Fanni & Rofida #1 : Jejak Asa


Aku diletakan ditempat biasa. Dimuka rumah bilik bambu. Bersama dengan cangkul dan peralatan bercocok tanam lainnya. Hari ini aku cukup lelah. Pemilikku bekerja lebih giat. Sejak hari gelap, ayam masih berkokok dari kandangnya, tuanku sudah mengajakku ke ladang. Anaknya sakit. Dari tempat biasa ini aku bisa mendengar rintihan dan suara batuknya. 


Biasanya tuan perempuanku membasuhku dengan air setiap sore. Aku dipersiapkannya untuk menjadi alas yang bersih dan siap untuk membantu tuanku bekerja. Tak pernah sekalipun tuanku melangkah lemas. Terkecuali pagi tadi.

‘Biaya berobat harus kucari kemana ya. Aku yakin panen minggu ini cukup untuk berobat. Menunggu sampai tiga hari lagi apa Opik bisa bertahan. Ah semoga.’ 

Saat itu langkahnya agak tertatih. Tuanku yang biasanya melangkah tegap nampaknya sedikit lunglai. Pematang sawah dilewatinya datar, tanpa siulan seperti biasa. Aku merasa lemah. Koneksi dengan sang tuan nampaknya bisa melewati karet sol tebal. Aku seperti menyatu dengan kulit, desiran darah dan degup jantung. Kali ini kehidupan menguji tuanku dalam caranya.

Hingga suatu malam sebelum tuanku beranjak beristirahat terdengar ketukan di pintu. Rupanya seorang pemuka desa datang menjenguk anak tuanku yang sakit. Setelah berbincang, pembicaraan mengarah pada tawaran untuk menjual sawah. Rupanya pemuka desa tersebut ingin mendirikan sebuah toko kelontong dan memperluas sawah yang dimilikinya. Tuanku tertunduk lesu. Aku menunggu jawaban tuanku dengan cemas. Namun tamu tuanku harus puas pulang tanpa jawaban. ‘Terima kasih atas tawarannya Pak, mohon maaf saya belum bisa memutuskan sekarang.’ Begitu terakhir sayup terdengar.

Panen yang dinanti tiba. Semarak penduduk desa saat hasil panen mencapai harapan menjadi pemandangan di tiap sudut. Tuanku ikut sukacita. ‘Opik akan kembali sehat dalam waktu dekat.’ Begitu gumaman tuanku. Hari ini aku bergulat dengan lumpur, jalanan berbatu, dan becek dalam genangan. Tanpa lelah tuanku mengerjakan pekerjaannya dengan sigap. Saatnya pulang. Tak lupa aku dibasuhnya dengan air dan menjejak kepadaku dengan penuh pengharapan.

Disimpannya aku hati-hati dimuka rumah bilik bambu. Di dalam tuan wanita ku menjawab salam. Opik membuka mata perlahan, mencoba duduk dipinggir dipan. Tuanku membawakan makanan kesukaan Opik. Pria muda itu tersenyum sekilas. ‘Bapak ndak jadi jual sawah ya, Pik. Bapak mau ngolah sawah kita untuk biaya sekolah kamu ke SMA.’ Opik mengangguk. 

Aku bisa bernapas lega. Udara serasa melewati rongga tubuhku semilir riang. Aku terpejam untuk kemudian esok pagi-pagi buta dijejak oleh tuanku. Menyapa lumpur, tanah kerikil dan ilalang lagi.
 -----

"ini adalah project Fanni & Rofida Amalia. Dua perempuan yang belum pernah bertatap muka namun saling mengenal satu sama lain melalui komunitas bernama @cardtopost. Kegemaran Rofida mengirimi Fanni kartupos dengan hasil jepretan pribadinya membuat Fanni tertarik untuk 'melantunkan kalimat' melalui gambar - gambar pilihan Rofida. Setelah berbalas kartu ketiga, Fanni memberanikan diri untuk 'meminang' foto Rofida dan menjadikannya sebuah project suka suka nan bahagia. Sejatinya hanya ingin kembali menulis melalui dorongan gambar indah dan menjalin silaturahmi 'naik tingkat' setelah melalui kartupos. Semoga berkenan. Salam, Fanni & Rofida."