Jumat, 02 Desember 2011

adaptasi

saya selalu mengaku pribadi yang adaptif
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, dengan keadaan
coba dibuktikan dengan situasi yang saya jalani sekarang

intinya adaptasi itu proses
menerima yang tidak bisa didapatkan
mendapatkan apa yang bisa diterima

semoga skill adaptif saya bisa membantu melewati fase ini
semestinya

Kamis, 01 Desember 2011

when it comes to the end

..sedih itu dimaklumi
tapi kok saya masih serasa 'kosong' gini yah? :
paling blah bloh dikit dan mood untuk menulis nya meningkat dengan pesat
ambil hikmahnya ; jadi ada postingan (galau) baru kan? :p

saya gak bohong kok waktu bilang
'bahagia itu sederhana. sesederhana melihat orang yang disayangi bahagia'
walaupun agak berlebihan yah bilang 'orang yang disayangi'
ya abis kan kalo peduli artinya sayang *minta dijitak*

saya kembali lagi ke chapter pengharapan 'time will heal'
and it better works well, then.

life lately

bulan terakhir di tahun ini
semacam countdown untuk ulang tahun ke 21 yang tinggal 3 hari lagi
dibilang excited tidak juga. gak tau harus mengharap kado dari siapa
jomblo dan pertemanan ala group kampus sedang mandek ditengah jalan
sehat dan bisa kumpul dengan keluarga rasanya jadi pilihan utama :)

rariweuh-an di komunitas rasanya semakin menyenangkan
teman-temannya selalu menginspirasi & memotivasi
pesan papah : jangan lupa kuliah, bagi waktu & jaga kesehatan
motivasi pribadi sih simpel; biar sedikit lupa sama 'keadaan'
dan tentu saja priceless momment yang tak bisa tergantikan
serta 'keluarga baru' yang beragam ceritanya :)

kuliah tinggal 3 minggu lagi (katanya)
sekarang susun laporan KKN lalu seminar Job Training kemarin (duh)
yang sialnya belum saya buat laporannya :|
finally meet w/ Ayesha :)
same passion dan berusaha mengurangi kadar kegalauan dengan 'mandi sore bersama' selama masa KKN
sedikit memaksa Caca untuk menemani saya menambah kesibukan
memutuskan untuk mengerjakan project bersama yang saya sangat excited karenanya
semoga berjalan lancar. amien!

sedikit sneak peak dari projectnya :p



be prepared guys *kerling manja* dari Pani & Ayesha hihi

Faces of Bandung #4 : Tita Larasati - Doodle/Graphic Diary Maker “ Sederhana, ringan, merekam momen”

Adalah jodoh ketika saya bertemu beberapa kali dengan sang narasumber di beberapa event belakangan. TUNZA Conference dan TEDxBandung ‘Counting Forward’. Berbekal self esteem tinggi dan kenekatan tiada tara, saya mencoba mengontak Tita Larasati, saya memanggil beliau Mba Tita (padahal murid nya memanggil Bu Tita :p), untuk diwawancara oleh #BandungUnite.

Setelah membuat janji, tibalah di hari selasa yang sedikit mendung namun sejuk, saya bertemu Mba Tita di Kantor Desain Produk FSRD ITB. Wah, langsung masuk ruang dosen bikin hati saya sedikit ciut. Akhirnya setelah mengutarakan sedikit background & maksud dari #BandungUnite , Mba Tita merespon dengan cukup antusias sekaligus spontan bertanya, “Bedanya dengan ITB United apa?” Dan saya coba jawab diplomatis, “ini cakupannya lebih luas, Mba. Bandung secara keseluruhan.” (padahal dalam hati, “jawab apaan ya?”) Awal yang menyenangkan nih, saya pun tanpa basa basi mencoba ‘mengenal’ Mba Tita and her doodles more closely :)

Saat ditanya mengenai kesibukannya, saya pun sepakat bahwa waktu Mba Tita banyak dihabiskan untuk mengajar. Selain itu, ibu multi-tasking ini juga aktif menjadi peneliti dan community developer . Menggambar doodle menurutnya bukan profesi, melainkan sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Simply, doodle yang digambar adalah pilihan highlight kejadian yang dialami di hari itu. Malah cerita polos khas anak-anak yang menggemaskan juga hadir lewat cerita dari tokoh Dhanu & Lindri, kedua anak Mba Tita, "Keluarga, khususnya anak, memang sumber inspirasi saya. Kalau mereka sudah besar, saya akan tunjukkan kepada mereka, begini lho, kenakalanmu dulu," ungkap Mba Tita seraya tertawa.

Pecinta bambu dan sepeda yang hobi gambar sejak kecil ini bertutur bahwa awal mula doodle ini terkumpul ketika magang di Jerman tahun 1995. Perempuan bernama lengkap Dwinita Larasati ini mengirim kabar pada orangtuanya melalui gambar doodle yang dikirim lewat mesin facsimile. “Jaman itu, internet belum musim.” Kemudian ibu Mba Tita mengumpulkan gambar-gambar tersebut dan di’sebarluaskan’ ke saudara, teman dan keluarga. Saat itu gambar Mba Tita bahasanya ‘gado-gado’. Ada bahasa Inggris, Indonesia, Jerman dan Belanda. Setelah menuai protes dari teman-teman di Jerman, akhirnya sekarang doodle dibuat dalam versi bahasa Inggris. 

Buku dengan format graphic diary ala Mba Tita yang lahir pada 28 Desember 1972 itu, pertama kali terbit di Harlem, Belanda. Ketika itu Mba Tita yang sedang tinggal disana mengikuti festival komik . Saat itulah karyanya mulai diekspos, namun belum dalam format buku, melainkan berbentuk pameran. Keikutsertaan gambar Mba Tita juga sampai kepada momen gempa di Jogjakarta silam, ketika beberapa seniman bersatu dan membuat karya antologi (kumpulan gambar dalam satu buku) dan hasilnya disumbangkan kepada korban gempa. Event 24 hours Comics bertempat di Amsterdam juga menghantarkan doodle Mba Tita yang kemudian diluncurkan di Amerika. Tahun 2007 Mba Tita juga menggelar pameran DI : Y di Jakarta. 

Adapun tahun 2008 menjadi momentum bagi peluncuran buku perdana yang bertajuk CURHAT TITA yang diterbitkan oleh CAB (Curhat Anak Bangsa) publisher. Dicetak sebanyak 1500 eksemplar dan dicetak ulang ketika respon pembaca bagus. Ternyata buku jenis ini punya ‘pasar’ nya sendiri. Justru ‘ketidaklaziman’ inilah yang mendapat tempat di hati pembaca. Disaat pada era itu komik Indonesia masih sangat bersaing dengan komik Jepang (manga). Sampai sekarang buku Mba Tita sudah berada pada buku keempat. Semua dalam format graphic diary. Saat ditanya apakah Mba Tita pernah menggambar doodle selain curhat sehari-hari, beliau menjawab “fiktif? Pernah. Waktu Goethe ngadain lomba komik dalam rangka piala dunia jadi temanya tentang bola. Hehe”

Untuk yang baru mulai tertarik bikin doodle, Mba Tita punya tips nih. “doodle itu merekam yang dicatat” apa yang dialami, pilih satu highlight dan gambarkan. Simple kan? Karena doodle memang sebagai sarana informasi dan komunikasi yang gampang diserap. Selain itu graphic diary juga lebih untuk dikenang, nostalgiaan kalau dilihat di masa depan.

Tanggapan Seno Gumilar untuk karya Mba Tita juga memang langsung kepada ‘roots’ atau akarnya membuat doodle. Karya sederhana yang ringan dan merekam kelakuan/momen. Mba Tita ini kemana-mana bawa buku diary nya loh. Saya juga sempat diperlihatkan & mengintip sedikit isinya. Buku bersampul kulit warna hitam polos yang lumayan tebal dan tidak bergaris pada bagian halamannya alias polos. Disaat ada waktu luang, Mba Tita dipastikan ‘corat coret’ di diary itu. Uniknya memang semua gambar tidak diwarnai dan hanya menggunakan pulpen. “Dulu sih pernah coba diwarnai, tapi dengan kesibukan sekarang sepertinya gak sempat.” begitu menurut Mba Tita.

Sejumlah seniman gambar yang menjadi inspirasi bagi Mba Tita diantaranya adalah Eddie Campbell, Marjan Satrapi dan Craig Thompson. Walaupun masih asing di telinga saya, (thanks to Google) setelah ditelusuri mereka adalah illustrator, komikus dan pembuat graphic novel kelas kakap alias canggih pisan! Jadi ikutan nge fans nih saya, hehe. 

Yang juga seru adalah setiap tahun bertepatan dengan ultah CAB, tanggal 7 November selalu diadakan kegiatan membuat graphic diary selama 7 hari berturut-turut! Wow! Para pastisipan bisa mengirimkan link gambar mereka yang sudah diupload dan akan dibantu share oleh  website SEVEN . Bahkan juga ada closing dengan kegiatan workshop. Event kece bagi para ‘pencoret-coret’ alias doodle maker ini berlangsung sejak 2008. Kita lihat saja keriaan apa yang akan disuguhkan kembali di tahun ini :) asiknya gak semua yang ikut jago menggambar loh, bahkan ada yang minta ‘digambarin’ dan ada seorang suami yang minta dibuatkan gambar untuk mendiang istrinya. Bikin terharu deh. Intinya banyak kejadian seru lah selama 7 hari tersebut. 

Sama kayak saya yang excited berat dengar penuturan dari Mba Tita siang itu. Dengan cepat saya melirik jam di tangan kiri dan memutuskan untuk menyudahi interview kala itu. Disebelah saya sudah menunggu sesosok mahasiswa yang sepertinya ingin bimbingan dan alhasil dia menunggu saya berceloteh bersama Mba Tita. Hehe. Last question, saya wondering apa sih Good & Bad nya kota Bandung ini menurut Mba Tita.. 

“Good nya Bandung punya potensi komunitas kreatif dalam jumlah banyak. Bad nya pemerintah dan infrastruktur tidak mendukung.”

Setuju banget, Mba! Kemana-mana kayanya juga orang Bandung mah selalu kreatip, pake P. masih banyak kepedulian dari warga Bandung untuk menciptakan keunikan & sesuatu yang berbeda. Aneh dan nyeleneh di Bandung itu lumrah. Well, begitu pula dengan keunikan doodle khas Mba Tita yang selalu saya kagumi. Nekat kadang ada hikmahnya loh. Kenekatan itu sukses mengantarkan saya bertemu dengan salah satu idola saya, yaitu Mba Tita.




Terima kasih banyak atas kesediaan diganggu disela-sela kesibukan mengajar dan diajak ngobrol selama kurang lebih 45 menit. Sukses selalu untuk segala kegiatan dan terus menggambar ya Mba Tita :)

Bandung Berkebun setelah Euphoria Tunza Conference 2011

Sepekan lalu, saya menghadiri kumpul penutupan dan evaluasi Tunza di Galeri Padi. Tak hanya penggiat Bandung Berkebun awal, namun juga seluruh volunteer yang sudah menjadi bagian dari keluarga Bandung Berkebun.
Di pertemuan itu Mba Cici (Aryani Murcahyani) selaku Bandung Berkebun Founder menyampaikan materi tentang “apa yang akan kita lakukan after Tunza?”

Setelah euphoria Tunza, kita harus kembali ke awal. Kembali menjadi pekebun slash petani urban yang menggarap kebun di Sukamulya. Bahkan sekarang tugas bertambah dengan mengurus tanaman di sepanjang jalan Tamansari dan Siliwangi yang telah ditanami saat kegiatan Street Farming Tunza kemarin.
Konsep Urban Farming kembali diingatkan oleh Mba Cici, dimana pemanfaatan ruang kosong perkotaan untuk ruang terbuka hijau yang bersifat edukatif dan rekreasi merupakan tujuan dari aktivitas Bandung Berkebun.

Edukatif karena melalui berkebun ‘masyarakat kota’ yang ‘terlihat’ pintar ini masih bisa mendapat sisi edukasi dari kegiatan yang ‘terlihat’ hanya sekedar menanam dan ngebon ini. Susah-susah gampang lah istilahnya untuk mengurus sebuah tanaman apalagi sepetak lahan. Dibutuhkan ilmu, at least pengetahuan tentang mengurus tanaman agar tanaman yang sudah kita tanam dapat tumbuh sempurna dan akhirnya dapat diambil hasilnya. Tapi tenang, tidak sesulit itu kok. Apalagi kalau dikerjakan bersama-sama. Saya merasakan pengalaman menanam di Rooftop sabuga kemarin tidak terlalu sulit, in fact menyenangkan. Kulit tersentuh cahaya matahari, tangan tidak ragu berkotor dengan tanah dan melihat tanaman dapat tersusun dengan cantik di instalasi rasanya membayar segala lelah kala itu.

Sisi edukasi juga bisa dilihat dari partisipasi beberapa TK dan SD yang sudah menjadi ‘partner’ Bandung Berkebun. Sekolah-sekolah tersebut bahkan memasukan kegiatan berkebun ini dalam kurikulum mereka. Antusiasme para adik-adik ini tidak usah diragukan. Mereka sangat gembira karena bisa bersama-sama berkegiatan di ruang terbuka, merawat tanaman dan kemudian menjadi bagian dari keseruan panen. Saling bahu-membahu untuk merawat lahan bersama kawan, kakak penggiat dan para guru. Keceriaan yang priceless, menurut saya.

Rekreasi di kota yang sepertinya mustahil, idealnya bisa dilakukan. Karena ternyata di kota banyak lahan terbengkalai. Saat ini Kota masih ‘dianak-tiri-kan’, warga pesimis kota dapat dijadikan tempat yang aman dan nyaman untuk berkegiatan, apalagi berkebun. Pemahaman yang seperti ini lambat laun harus kita bantah.

Inti dari konsep Urban Farming ada 3, yaitu Ekologi, Edukasi dan Ekonomi. Untuk poin terakhir yaitu ekonomi, sayangnya sekarang masih belum maksimal untuk Bandung Berkebun sendiri. Hal ini dikarenakan untuk menjadikan hasil kebun sebagai komoditi pasar, dibutuhkan tanggung jawab lebih dan komitmen dalam memastikan kualitas dan kuantiti mencukupi permintaan pasar. Semoga kedepannya Bandung Berkebun secara bertahap dapat mewujudkannya :)

Sebagai warga Bandung ada baiknya kita mengenal Problem sekaligus Potensi kota Bandung. Diantaranya adalah :

Problem :
-1. Kurang ruang terbuka hijau. Hanya 6% dari luas kota Bandung yang menjadi ruang terbuka hijau seperti taman dan public space. Idealnya berada di angka 30%.
-2. Kurang ruang terbuka public dengan pemanfaatan children playground atau plaza. Seandainya banyak children playground di ruang public, para orang tua pasti lebih senang mengajak anak-anak ke playground dibandingkan ke mall 
-3. Ruang kota terbengkalai

Potensi :
-1. Morfologi kota yang ‘akrab’ (relative dekat kemana-mana)
-2. Gudangnya komunitas – komunitas kreatif
-3. Kota produktif. Kenapa disebut produktif? Menurut Mba Cici, di Bandung masih memungkinkan bagi orang yang memiliki pekerjaan atau kegiatan yang sifatnya non profit. Saya juga setuju dengan hal ini. Bandung memiliki ‘multitasking people’ yang care terhadap ‘pergerakan’ diseputar kota Bandung.

 Setelah lebih mengenal Problem & Potensi kota Bandung, semoga kita sebagai warga kota lebih aware dan peduli dengan keadaan sekitar sekaligus issue yang sedang berkembang di masyarakat. Setelah aware ada baiknya mulai berbuat sesuatu untuk ‘perubahan’. Terdengar berat ya kalau melakukan sesuatu untuk perubahan?

Lakukan yang paling simple dulu yang bisa kita lakukan. Jaga kebersihan, support local movement, sebarkan informasi baik dan lebih aktif menyuarakan pendapatmu :)
Salah satunya lewat Bandung Unite. So, Tunggu apa lagi?

Faces of Bandung #3 : Marnala Eross “Stage Photographer : bukan profesi, tapi predikat!”

Berawal dari kecintaan saya pada sebuah Band bernama Hollywood Nobody, bukan suatu hal  yang aneh ketika akhirnya saya juga ‘jatuh cinta’ pada sang fotografer yang senantiasa mengabadikan setiap penampilan apik Hollywood Nobody kedalam rangkaian gambar yang sungguh sulit untuk diabaikan keindahannya. 

Perkenalkan seorang mahasiswa multi-tasking yang juga merangkap sebagai jurnalis/reporter fotografer untuk Gigsplay, music director untuk GigsonSky, manager band The Black and Dangerous dan fotografer untuk band kesayanganku; Hollywood Nobody.. Marnala Eross Simanjuntak. Dengan marga simanjuntak dibelakang namanya sudah bisa ditebak Eros berasal dari ranah Sumatra Utara. Mahasiswa tingkat akhir Fikom Unpad 2007 Unpad ini akhirnya bersedia saya ‘kulik-kulik’ perihal Stage Photographer pada selasa malam  bertempat di Common Room.

Awal mula Eros menekuni hobi fotografi bisa dibilang unik. Berangkat dari menjadi penikmat musik dan gigs, sampailah kepada titik dimana pria ini tergelitik untuk ‘naik satu level’ dari penikmat menjadi pendokumentasi alias mengambil gambar dari gigs yang dikunjunginya. Masih sangat lekat dalam ingatan, ketika SORE menjadi band pertama yang diambil gambarnya di acara PMKT HI Unpar tahun 2009. Alasannya? Karena Eros suka benget sama SORE. Simpel. Hehe :D

Pertama kali pegang kamera ya pas motret SORE itu. Walaupun ada mata kuliah fotografi di kampus, tapi gak minat. Ketemu ‘jodohnya’ ya di gigs. intinya “learning by doing”. Gak pernah tuh ada sejarahnya latihan ngulik ngulik sebelum motret. Semuanya pure insting dan pake feeling. That’s why menurut pria berpostur tinggi besar ini, PASSION sangat memegang peranan penting. Menangkap momen yang memiliki ‘nyawa’ gak akan didapatkan dengan sekedar menjepret sana sini. ‘Pesan’ yang disampaikan foto itu baru maksimal ketika si fotografer memang mendedikasikan bidikan lensanya untuk menangkap euphoria keriaan menikmati musik. Ketika menyadari musik dan fotografi adalah passionnya, Eros memadukannya dalam satu kegiatan yang menurut saya sangat menarik, Stage Photograpy!

Stage dan Photography. Yang terlintas adalah memotret di panggung. Sebenarnya apa sih yang menjadikan profesi ini menarik? Karena perkembangannya yang pesat bahkan di tahun 2011 ini. Menurut Eros, sekarang sudah banyak penonton gigs yang membawa serta kamera mereka dan tak ragu mendekat ke bibir panggung untuk menjadi ‘stage photografer’ minimal untuk dirinya sendiri :p hehe. 

Karena kalau sudah menyangkut profesi, Eros dengan tegas berpendapat bahwa untuk mendapatkan predikat ‘stage photographer’ dibutuhkan konsistensi lebih dari profesi kebanyakan.  “ketika misalnya seseorang menjadi manager, maka saat itu juga ia akan disebut manager. Baik itu di awal, maupun 5 tahun kedepan. Beda dengan fotografer. Setelah sesorang menekuni & konsisten di jalur stage fotografi ini, itulah yang menjadi tolak ukur seberapa ‘layak’ ia dianugerahi predikat fotografer.” Hitungan 10 tahun keatas baru bisa dibilang konsisten. 

“Stage Photographer bukan profesi, tapi predikat!”

Begitu eros mengoreksi julukan yang saya kira merupakan ‘profesi’. Saya pun seketika setuju. 

Di Indonesia sendiri stage fotografer sudah ada sejak lama bagi penggiat fotografi yang memang berkecimpung di dunia jurnalistik. Stage Photography menjadi suatu hal yang terdengar ‘awam’ namun mulai terdengar gaungnya khususnya di kota seperti Bandung & Jakarta seiring meningkatnya frekuensi gigs di kota-kota tersebut.

Keterlibatan Eros menjadi fotografer Hollywood Nobody juga menjadi bukti bahwa  ‘jodoh-tak-lari-kemana’. Minimnya frekuensi Hollywood Nobody tampil di khalayak pada awal berkarir tak menyurutkan tekad pria ber knowledge musik luas ini untuk mendaftarkan diri menjadi fotografer ketika membaca tawaran posisi tersebut di page facebook band favorite nya itu. Terhitung Maret 2010 Eros resmi menjadi fotografer Hollywood Nobody dan langsung mengemban tugas mengabadikan momen Hollywood yang menjadi opening act konser Kings of Convenience kala itu di dua kota sekaligus, Jakarta dan Bandung. Adapun bisa bertatap muka dengan vokalis KOC, Erlend Oye, juga merupakan salah satu pengalaman berkesan bagi Eros. 

Bandung Berisik juga menjadi momen seru bagi Eros. Dengan excited Eros bercerita bahwa tepat di saat akan berkegiatan di bandung Berisik, ia menderita sakit telinga. Padahal as we all know, pagelaran musik  cadas tersebut dapat dipastikan menyuguhkan suara berdesibel tinggi alias ‘keras’ di telinga. Sepasang headset menjadi ‘tameng’nya kala itu J belum lagi suasana media pit yang ramai akan sesama fotografer, media, polisi bahkan alay sekitar yang menjadi pengunjung tumplek-plek disitu. Alhasil tanpa pikir panjang ketika ada kesempatan, Eros cuek naik ke stage dan mengabadikan beberapa momen diatas panggung :)

Gelaran Java Rocking Land tahun 2011 ini juga meninggalkan kesan yang lekat bagi Eros. Bisa dibilang hari itu ketahanan fisik dan mental Eros diuji. Bayangkan, sampai di Jakarta subuh, jam 6 pagi sudah kembali lagi ke Bandung untuk kepentingan foto session Hollywood Nobody, lalu jam 2 siang menyambangi The Black and Dangerous yang tampil di event Keuken di Cikapundung. Tanpa ba-bi-bu kembali lagi ke JRL lalu tiba jam setengah 10 malam untuk menonton performa band yang sudah diincar Eros, Happy Monday. Besoknya? Tepar! Lelah sekaligus amazed  bisa sukses menunaikan semua ‘tugas’ di hari itu.

Diberikan amanat menjadi Official Photographer untuk Mocca dalam Last Show nya di Jakarta, masih merupakan kebanggan tersendiri bagi Eros untuk menjadi bagian dari ‘sejarah’ karir band asal Bandung ini. Mengabadikan setiap momen mulai dari rehearsal hingga detik mengharukan perpisahan ‘sementara’ yang membuat sejumlah foto yang dihasilkan sarat dengan intimasi dan kenangan.

Ditengah serunya perbincangan, Eros mengungkapkan kekagumannya pada seorang stage photographer internasional bernama Brantley Gutierrez.  Gutierrez tidak menjadi stage fotografer official band manapun, tapi karyanya yang ‘breath-taking’ mampu membuat banyak band jatuh hati pada hasil fotonya yang selalu memiliki soul dengan kamera analognya dan membuat ciri khas tersendiri. Sebut saja Incubus yang menjadi ‘langganan tetap’ Gutierrez. Bahkan di umurnya yang masih relatif muda, early 30, Gutierezz sudah merambah dunia videographer. Satu kata yang terucap lepas dari Eros adalah EPIC! Buat Eros, kalau sampai dia sudah bilang EPIC, berarti ‘sakit’ itu foto. Super ber’nyawa’. Dan lately, Eros menjadikan Gutierezz sebagai salah satu referensinya.
Di Indonesia sendiri, salah satu kawannya, Dimas Wisnuwardono, fotografer The Trees and The Wild menjadi favorit bagi Eros. Dimas mampu membuat ‘image’ TTAW menjadi seperti sekarang :)
 
Mimpi yang belum terwujud bagi Eros adalah sebuah kamera. Wait, fotografer yang belum memiliki kamera? Gimana ceritanya? Saya pun kagum mendapati kenyataan bahwa selama ini Eros berkarya menggunakan kamera ‘pinjaman’. Tapi demi apapun, bagi saya itu jadi pecut tersendiri bagi kalian, pembaca diluar sana, termasuk saya.  “gak punya kamera gak jadi halangan, bahkan Bemby, drummer dari band favorite gue, SORE, gak punya drum.” Well, dalam hati saya berujar, “sakit nih eros. ini baru namanya gak ada yang gak mungkin.” 

Suka Duka menjadi Stage Fotografer dijawab dengan diplomatis oleh Eros,
“sukanya bisa kenal banyak orang, karya di publish dan ketika ada orang yang suka, itu kepuasan tersendiri. Bahkan gue prefer orang ngomenin, suka sama karya gue daripada di publish”

“dukanya? Gak ada!” haha memang susah juga bertanya duka pada profesi yang didasari oleh passion. Semua dibawa enjoy dan menyenangkan :)

Ketika saya bertanya adakah perngaruh kota Bandung terhadap profesi Stage Photographer ini, Eros menjawab Bandung masih kurang penyelenggaraan gigs dan venue yang memadai. Singkatnya, fotografer kurang wadah.

“kalau pengadaan venue gigs masih minim, otomatis gigs juga dikit dan makin sempit wadah stage photographer buat berkarya”

Couldn’t agree more :)

Target Eros, mau tetap foto sampai umur berapapun, selama passion itu masih ada. Untuk perkembangan Stage Photographer sendiri, Eros tidak merasa itu sebagai suatu persaingan. Malah saling belajar sekaligus makin banyak teman untuk sharing :) bahkan sekarang sudah ada @stageID dimana teman teman Stage Photographer bisa berkumpul, berbagi ilmu dan cerita dunia foto panggung

Dan tidak terasa saya sudah berbincang dengan Eros selama kurang lebih satu jam. Lumayan ‘memakan’ waktu walaupun saya selalu lupa waktu kalau berbincang dengan sosok yang saya kagumi, termasuk si Eros ini. Hehe. Jabatan tangan dan ucapan terima kasih yang bisa saya berikan atas kesediaan Eros meluangkan waktunya untuk berbagi dan menginspirasi saya malam itu.

Selamat menikmati karya Eros di http://www.flickr.com/photos/marnalaman/
 Erlend Oye dan Ricky White Shoes and The Couples Company

 Hollywood Nobody

 Arina Mocca dalam Last Show Concert


  Bandung Berisik 2011

  Eros @marnalaman
Sukses untuk segala kegiatan lo, yah Ros! Berjumpa di gigs selanjutnya!

comeback!

*kibas kibas sarang laba-laba*
akhirnya setelah sebulan di Desa Lamajang (KKN) saya kembali lagi.
actually harus ngurusin Bandung Unite juga sih :|
ternyata maintanance project itu lumayan sulit. butuh komitmen yang kuat.
baiklah satu satu, sedikit demi sedikin dicoba.
posting berikutnya masih hasil copas dari tulisan saya di Bandung Unite yah :)
diusahakan membuat tulisan baru.
Cheers!