Selasa, 04 Juni 2013

Lantunan Joni & Susi, menuju semesta















tidak ada yang bisa diungkapkan saat saya berdiri dengan jarak satu meter setengah dengan melancholic bitch. terima kasih untuk lantunan cerita Joni & Susi yang menyayat nadi, hentakan kepala, dentuman jantung karena berdiri dengan posisi bersebelahan dengan sosok yang membuat saya harus berbagi konsentrasi sepanjang pertunjukan dan after taste yang masih belum hilang sampai sekarang.

Balada Hampir Satu Tahun

Sungguh keputusan yang berani nekat dan ‘memaksakan’. Kalau tidak untuk sebuah album berjudul Balada Joni dan Susi, saya bertaruh saya tidak akan berani kembali kesana.

Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, suasana akan kaku, awkward apapun itu namanya. Tekad saya rupanya sedikit bisa mengendalikan emosi untuk tetap kool dan fokus. Walaupun si sukhoi, kucing yang sekarang besarnya sudah seperti anak macan itu menghampiri kaki saya. Gile, kecinya aja saya takut lah ini udah menjadi kucing gagah yang kekar (lebay).

Setelah kecewa karena tidak mendapati si gholum di rumah (yah kuciwa deh padahal kan kangen, kangen nge bully) akhirnya kami bisa bicara beberapa hal simpel dan dengan sedikit mengumpat dalam hati waktu dia berhasil ngerjain saya. 

‘ibu ada kali di kamar, itu diluar kenapa coba ada mobil?’
‘ih boong banget’ padahal udah siap siap gitu kalo beneran ada ibu kan tinggal sungkem (ditajong).

Ternyata itu semua hanya ulah iseng dan sukses membuat air muka saya berubah. Semoga dia tidak tau saat saya diam diam merekam seisi ruangan dalam otak. Langit – langit, halaman belakang, makanan kucing yang berserakan di lantai, terlebih susunan kursi. Saya duduk berpindah. Dari seberang pindah ke samping. Potongan ingatan saya tersingkap dari peraduannya. Duduk disini memorinya ini, duduk disana saya pernah dibully karena itu. Sayang saya tidak bisa melihat isi kamarnya dan duduk di teras depan kamar. 

‘pindah kamar?’
‘ngga, kamarnya berantakan banget. bangun – bangun udah berantakan banget. masa harus diberesin? Nggak ding, kasurnya patah.’

Entah bagian yang mana yang harus saya yakini. Yang jelas dia masih sama. Jawaban yang sangat membuat saya rindu untuk mendengar jawaban – jawaban seperti itu dalam jenis pertanyaan apapun.

Adapun Kursi kayu panjang dengan pemandangan pohon palem yang saya juga tidak tahu itu jenis apa juga sangat mendorong hasrat ingin tahu saya. Meskipun saya masih menyimpan rapi sebuah foto yang saya ambil dengan kamera handphone, tetap saja saya merasa ini adalah kunjungan yang tidak sahih tanpa melihat si pohon di depan kamar tersebut.

Jujur saya cukup senang saat akhirnya bisa bicara hal yang ingin saya tanyakan. Tapi serasa dicurangi waktu, semua terasa sangat cepat. Yang lambat hanyalah detak jantung saya saat dia memejamkan mata kemudian menjawab pertanyaan saya dengan diawali helaan nafas panjang, disambung tatapan tajam dan dalam sebelum akhirnya memberikan beberapa kalimat penjelasan yang mana saya akan tetap merasa itu kurang jelas.

Dan, satu statement yang bisa saya tangkap adalah ‘memaksakan’, eh itu kata ya? Pokoknya pernyataan deh. Saya akui itu. Walaupun setelah itu saya harus bekerja sedikit ekstra menarik ujung ujung bibir saya untuk membentuk seulas senyum. Baiklah, saatnya melakukan ‘pemaksaan terakhir’. Surat atau kartu menjadi media pilihan. Walaupun saya jauh lebih suka apabila bisa selesai dalam suatu ruang nyata. Bertemu, duduk, bicara tanpa embel embel masa lalu. Menyelesaikan apa yang saya masih sisakan di sudut hati. Semoga, ada keajaiban. Kalaupun tidak, maka saya akan menyerahkan kuasa pada lembaran kertas yang nantinya akan diantarkan pak pos. tanpa pengharapan akan balasan.