Minggu, 04 Mei 2014

#2 Pras

Lekat – lekat saya memandang keluar. Pemandangan dari dalam mobil travel yang membawanya ke Jakarta, tempat kelahiran saya, masih sama. Masih membuat lamunannya memutar rekaman kejadian seminggu yang lalu. 

-----
Dua cangkir bermotif garis biru muda muncul dengan asap tipis mengebul ke udara. Sang pemilik gelas – gelas berisikan teh peach tersebut masih sibuk menata kalimat dalam hati. Backsound toko buku kegemaran Pras dan Jingga seolah tahu apa suasana yang tepat untuk mereka.

Ada yang tak sempat tergambarkan.
Oleh kata ketika kita berdua.
Hanya aku yang bisa bertanya, mungkinkah kau tau jawabnya.
Malam jadi saksinya kita berdua diantara kata yang tak terucap.
Berharap waktu membawa keberanian untuk datang membawa jawaban.
Mungkinkah kita ada kesempatan.
Payung Teduh – Berdua Saja

Jingga akhirnya membuka percakapan, “Maaf tempo hari di kolam renang ya Mas Pras.”
“Pras sajalah, Jingga. Saya tidak mau terdengar lebih tua dari kamu. Ya hanya dua tahun lagipula.”

Saya mengeluarkan sebuah buku dengan sampul plastik dari dalam ransel untuk kemudian saya sodorkan kepada Jingga.

“Ini yang saya ceritakan di sms kemarin, semoga bisa jadi referensi ya.”

Sambil mengambil gelas teh, saya melirik kearah Jingga yang langsung sibuk membuka halaman demi halaman. Diantara riuh rendah suasana kafe saya mendengar langkah kaki yang saya hapal betul. Citra menghampiri perlahan. Dengan santai wanita muda cantik dan langsing itu mendaratkan ciuman ringan di pipi saya. Rupanya kebiasaan Citra belum berubah. Sekilas saya lihat Jingga terhenyak pelan melihat pemandangan yang asing buatnya. 

“Emang dikira disini LA apa? Main cium cium pipi orang. Huh” Begitu isi hati Jingga, namun yang dilakukannya adalah meneguk teh peach tanpa meniupnya terlebih dahulu.
“Auch. Panas.. “ Jingga menjulurkan lidahnya. 

Pemandangan yang juga sangat langka untuk saya. Saya mempersilahkan Citra duduk bergabung.

“Jingga, kenalkan ini Citra. Teman lama saya sewaktu ikut ayah tugas ke Riau. Sekarang Citra sudah semester akhir di fakultas Komunikasi.”

“Hallo Jingga ya? Wait, kayaknya kita pernah ketemu di kampus deh. Acara ulang tahun kampus beberapa minggu lalu. Kamu dan teman – teman mu buka stand untuk mengumpulkan buku bekas ya?”

Jingga polos mengangguk. Wah selain cantik, si Citra ini rupanya ngenalin sosok gue. Gak misterius lagi deh. Tentu saja itu semua diucapkan Jingga dalam hati.

“Okay, jadi karena kalian satu kampus jadi saya gak perlu repot repot mengakrabkan kalian ya.” Sedikit tersenyum nakal Pras membuat kesimpulan.

Adegan selanjutnya bisa ditebak. Citra hampir mengambil alih obrolan Jingga dan Pras yang tadinya kaku jadi semarak bak taman kota di sore hari. 

Empat puluh menit kemudian Jingga mendapat pesan singkat dari Banyu, abangnya. “Pras, Citra. Such a nice afternoon with you two. Tapi aku harus pergi. Baru ingat ada janji sama Mas Banyu. Is it OK?”

Pras nampak cukup kaget terlebih dalam hatinya ia masih ingin berada dekat orang – orang yang bisa membuatnya sedikit lebih ‘hangat’ dan bebas mengekspresikan dirinya. Citra, si sahabat lama yang menyenangkan dan Jingga, si mungil yang selalu membuat Pras penasaran.

“Ada sesuatu yang urgent kah? Mari saya antar. Gak apa kalau naik motor?”

Citra yang datang naik taksi juga cukup mandiri untuk pulang sendiri. “Aku gak apa Pras, habis ini juga ada janji sama temanku di taman. Darren kamu masih inget kan? Dia minta aku jadi talent untuk line tas nya yang baru. Kamu antar Jingga saja.” Sambil tersenyum Citra, menoleh ke Jingga.

Aduh aku jadi nggak enak nih, batin Jingga dalam hati. Tapi diantar sama Pras juga aku susah nolak sih. Haha. 

Setelah berpisah, Jingga yang sekarang duduk di boncengan motor Pras mencoba menikmati momen penuh kejutan ini. Diatas kepalanya mulai muncul semburat warna keemasan. Ya warna jingga khas datanganya sang sore. 

“Syukurlah masih cerah”, gumam Jingga perlahan. “Ya, kenapa Jingga?”, suara Pras yang datar bercampur dengan deru angin. “Hmm, nggak kok Pras. Kita sudah dekat. Di depan belok kanan ya.”

Pras mengikuti langkah kaki Jingga masuk ke sebuah pemakaman umum. Tampak dari jauh Mas Banyu dan Tita pacarnya menyambut kedatangan mereka. “Mas, sori ya gue telat. Kalau gak baca sms kayaknya bablas. Makin pikun aja nih hehe. Yuk Mas, kita mulai.”

Bebas dari kesan duka cita dan kelam, keluarga kecil ini kemudian berkumpul mengelilingi sebuah makam yang terawat rapi, nisan yang berwarna marmer krem. Disitu tertulis, Sekar Ardiwilaga. Pras menutup mata dan mengamini setiap doa yang terucap.

-----
Mobil travel sudah berhenti di poolnya. Kawasan Sarinah, Thamrin. Hawa panas sapaan khas ibukota tak ayal menimbulkan titik titik air di dahi dan sela rambut gondrong Pras yang sudah mencapai bahu. Dengan cepat ia mengetik pesan singkat di handphone. Datanglah balasan berbunyi “Iya, gue lima menit lagi sampai. OTW bro, oke-tungguan-weh. Haha” Pras berjanji akan meninju lengan Reza ketika nanti ia sampai.

Mata yang menghilang ketika tertawa lebar itu makin menghilang ketika melihat Pras merengut di pool travel yang hanya berhiaskan kipas angin tua. “Aduh, bapak seniman kita kepanasan ya? Nanti aku beliin teh botol deh”. Pras menghampirinya dan seperti janjinya tadi.. “ADUH! Galak amat lo. Udara Jakarta bikin lo gampang dendam ya” misah misuh Reza mengelus lengannya yang diberi ‘sapaan tinju mesra ‘ oleh Pras. 

Mereka berdua berjalan menuju Galeri yang tak jauh dari sana.