Selasa, 28 Agustus 2012

Jingga #1

Aku tidak suka diantara keramaian. Memaksa kupingku untuk dijejali celotehan sampah tentang panasnya cuaca hari ini ataupun tren terbaru yang berlomba lomba diikuti oleh remaja seumuranku. Ah aku sudah tidak remaja lagipula. Minggu depan usiaku genap 20 tahun. Itu sebabnya pundak kiri yang baru saja ku tato dengan aksara jawa berlafalkan nama Ibu masih terasa perih. Aku sudah bisa membuat keputusanku sendiri. Arogansi transisi dari remaja menuju dewasa, kata abangku satu satunya, Banyu.

Aku biasa berjalan kaki. Entah aku malas berjejalan dengan penumpang angkot lain atau aku terlalu menikmati kesendirianku berjalan kaki sepanjang jalan. Sesekali mengabadikan hal yang menurut pandanganku menarik, menggunakan sebuah kamera tua milik Ayah. Aku ingat saat Ayah memberikan kamera itu kepadaku. Banyu cemberut tanda tak setuju. Rupanya ia sudah lama menginginkan kamera kesayangan Ayah itu. Setelah tak bertegur sapa selama tiga hari akhirnya Banyu menghampiriku sambil memamerkan kamera canggih tipe terbaru miliknya. Rupanya uang tabungannya “ditambah” oleh Ayah. Syukurlah aku bisa bebas meminjam koleksi kaset band di kamarnya lagi, pikirku. Setelah itu kadang kami pergi ke hutan kota untuk mengisi waktu di akhir minggu, menjajal kemampuan kamera ku, Broto dan kamera Banyu si Alexa. Ya, kami memberi nama pada kamera – kamera itu. 

Sampai mana tadi? Ah iya. Sambil berjalan kaki aku mengambil beberapa gambar. Salah satunya yang paling menarik adalah kala matahari terbenam di stasiun. Saat itu aku yang jarang datang ke stasiun kemudian menyerahkan insting kepada kaki kaki ini. Aku mempercayai kakiku untuk melangkah kemana hendak mereka. Aku menuju rel yang paling sepi setelah melongok sebentar ke dalam gerbong kereta yang sedang parkir di stasiun. Aku lebih memilih menyendiri bahkan di tempat keramaian macam stasiun ini. Lantas kenapa ke stasiun? Entahlah. Saat aku berusaha menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri, aku mengadah. Menatap langit. Pukul enam kurang lima belas menit, itu yang kubaca dari jam tangan berbentuk kalkulator mini yang melingkar di pergelangan tangan kiri ku. 

Itu aku! Pekik hatiku. Langit itu menghadirkan aku. Menghadirkan goresan selaput lembut dengan pedar berwarna. Merah matahari bercampur dengan putih bersih awan dan menyatu. Macam warna gulali di pasar malam. Yang kali ini agak oranye. Maka kusebut itu aku. Itu jingga.

Aku mengabadikan banyak jingga dalam hidupku. Selain stasiun, aku sudah berkelana ke banyak tempat mencari ‘saudara – saudaraku’ yang lain. Halaman SD dekat rumah, lantai paling atas kantor Ayah, padang rumput rahasia yang kutemukan saat berjalan – jalan dengan Banyu tahun lalu, lapangan basket komplek, dan balkon kamarku. Itu yang terdekat dan ternyaman. Banyu pernah berteriak dari dalam rumah saat aku terlalu asyik melakukan ‘ritual’. Setelah lelah biasanya Banyu akan kembali ke ruang makan menungguku disana bersama Ayah. 

Rasanya keanehan ku tak seberapa. Masih banyak diluar sana yang lebih aneh dari makhluk macam aku. Terlebih yang hidup dibawah kepura-puraan. Jika Papua pernah disebut Negara Boneka oleh Belanda, maka mereka itulah boneka sesungguhnya. Ya persetan dengan orang lain yang masalah dalam hidupnya diciptakan sendiri. Aku memiliki radar yang mengaitkanku bertemu dengan orang-orang ‘unik’ lain sepertiku.

Ah iya aku pernah menemui seorang lagi. Laki – laki yang sepertinya sebaya denganku. Dalam diamnya aku tau. Dia ‘sejenis’ denganku. Sama – sama tak suka keramaian dan acuh tak acuh pada sekeliling yang bukan urusannya. Kita bertemu di toko buku favoritku. Sialnya dia menduduki kursi yang biasa kududuki. Maka kuberikan dia tatapan paling menyebalkan yang bisa kubuat. Pria ini telah menabuh genderang perang. Lihat saja nanti, saat kita bertemu lagi entah kapan. 

Rupanya aku terlalu sibuk dengan buku ku hingga tak sadar pria itu sudah berlalu dan keluar dari toko buku. Sekilas hanya punggung dan ransel warna coklat tua kumalnya yang kutangkap dibalik pintu kaca toko. Ah tapi dia meninggalkan ‘jejak’.
Sebuah cangkir hampir kosong. Hanya tersisa beberapa cm cairan berwarna coklat tipis dari dasar cangkir. Seperti anjing pelacak aku cuek saja mengambil gelas itu dan mengendus perlahan. Aneh? Memang. Aha! Aku kenal wangi ini. Wangi yang biasa kuhirup dirumah saat Ibu ada. Wangi minuman yang disajikan Ibu di halaman belakang rumah kala sore di hari sabtu. 

Teh berperisa peach. Singkatnya Peach Tea. Pria itu minum peach tea? Cih. Sok imut sekali, pikirku. Tapi sikap sinisku itu cuma penutup dari rasa gembira yang akhir ini jarang kubiarkan diriku untuk merasakannya. Sedikit aneh sekaligus tergelitik. Ini bisa jadi ‘kasus detektif’ yang menarik, pikirku. Tapi kalau memang ia ternyata ‘penghuni tetap’ toko buku ini sepertiku, maka akan ada kesempatan berikutnya untuk bertemu dengan pria itu.

Ya aku tidak mau gembira lama – lama. Aku harus menyelesaikan buku ini sebelum pulang. Hari sudah mulai sore. Akan kutangkap dimana ya senja hari ini? Dimana saja asal terlewati dalam rute pulang. Sepertinya halaman rumah mungil tak berpenghuni yang berjarak dua blok dari rumah bisa kujajal hari ini. Semoga tidak ada hantu! Haha seperti aku percaya saja pada hal – hal semacam itu. 

Kurapikan buku dan ikatan tali sepatuku. Kulirik cermin saat melewatinya di samping kasir. Ada pantulan wajah sedikit lelah namun masih menyiratkan harapan dan poni yang kepanjangan membingkai wajah itu. Kacamata dengan frame milik Opa yang kuganti lensanya cukup pas bertengger di hidungku walau sesekali harus kubetulkan letaknya karena melorot. 

Terpejamnya mata ini selama tiga detik menuntun langkahku berburu senja, Ibu aku punya cerita lagi untukmu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar