Kamis, 01 Desember 2011

Faces of Bandung #4 : Tita Larasati - Doodle/Graphic Diary Maker “ Sederhana, ringan, merekam momen”

Adalah jodoh ketika saya bertemu beberapa kali dengan sang narasumber di beberapa event belakangan. TUNZA Conference dan TEDxBandung ‘Counting Forward’. Berbekal self esteem tinggi dan kenekatan tiada tara, saya mencoba mengontak Tita Larasati, saya memanggil beliau Mba Tita (padahal murid nya memanggil Bu Tita :p), untuk diwawancara oleh #BandungUnite.

Setelah membuat janji, tibalah di hari selasa yang sedikit mendung namun sejuk, saya bertemu Mba Tita di Kantor Desain Produk FSRD ITB. Wah, langsung masuk ruang dosen bikin hati saya sedikit ciut. Akhirnya setelah mengutarakan sedikit background & maksud dari #BandungUnite , Mba Tita merespon dengan cukup antusias sekaligus spontan bertanya, “Bedanya dengan ITB United apa?” Dan saya coba jawab diplomatis, “ini cakupannya lebih luas, Mba. Bandung secara keseluruhan.” (padahal dalam hati, “jawab apaan ya?”) Awal yang menyenangkan nih, saya pun tanpa basa basi mencoba ‘mengenal’ Mba Tita and her doodles more closely :)

Saat ditanya mengenai kesibukannya, saya pun sepakat bahwa waktu Mba Tita banyak dihabiskan untuk mengajar. Selain itu, ibu multi-tasking ini juga aktif menjadi peneliti dan community developer . Menggambar doodle menurutnya bukan profesi, melainkan sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Simply, doodle yang digambar adalah pilihan highlight kejadian yang dialami di hari itu. Malah cerita polos khas anak-anak yang menggemaskan juga hadir lewat cerita dari tokoh Dhanu & Lindri, kedua anak Mba Tita, "Keluarga, khususnya anak, memang sumber inspirasi saya. Kalau mereka sudah besar, saya akan tunjukkan kepada mereka, begini lho, kenakalanmu dulu," ungkap Mba Tita seraya tertawa.

Pecinta bambu dan sepeda yang hobi gambar sejak kecil ini bertutur bahwa awal mula doodle ini terkumpul ketika magang di Jerman tahun 1995. Perempuan bernama lengkap Dwinita Larasati ini mengirim kabar pada orangtuanya melalui gambar doodle yang dikirim lewat mesin facsimile. “Jaman itu, internet belum musim.” Kemudian ibu Mba Tita mengumpulkan gambar-gambar tersebut dan di’sebarluaskan’ ke saudara, teman dan keluarga. Saat itu gambar Mba Tita bahasanya ‘gado-gado’. Ada bahasa Inggris, Indonesia, Jerman dan Belanda. Setelah menuai protes dari teman-teman di Jerman, akhirnya sekarang doodle dibuat dalam versi bahasa Inggris. 

Buku dengan format graphic diary ala Mba Tita yang lahir pada 28 Desember 1972 itu, pertama kali terbit di Harlem, Belanda. Ketika itu Mba Tita yang sedang tinggal disana mengikuti festival komik . Saat itulah karyanya mulai diekspos, namun belum dalam format buku, melainkan berbentuk pameran. Keikutsertaan gambar Mba Tita juga sampai kepada momen gempa di Jogjakarta silam, ketika beberapa seniman bersatu dan membuat karya antologi (kumpulan gambar dalam satu buku) dan hasilnya disumbangkan kepada korban gempa. Event 24 hours Comics bertempat di Amsterdam juga menghantarkan doodle Mba Tita yang kemudian diluncurkan di Amerika. Tahun 2007 Mba Tita juga menggelar pameran DI : Y di Jakarta. 

Adapun tahun 2008 menjadi momentum bagi peluncuran buku perdana yang bertajuk CURHAT TITA yang diterbitkan oleh CAB (Curhat Anak Bangsa) publisher. Dicetak sebanyak 1500 eksemplar dan dicetak ulang ketika respon pembaca bagus. Ternyata buku jenis ini punya ‘pasar’ nya sendiri. Justru ‘ketidaklaziman’ inilah yang mendapat tempat di hati pembaca. Disaat pada era itu komik Indonesia masih sangat bersaing dengan komik Jepang (manga). Sampai sekarang buku Mba Tita sudah berada pada buku keempat. Semua dalam format graphic diary. Saat ditanya apakah Mba Tita pernah menggambar doodle selain curhat sehari-hari, beliau menjawab “fiktif? Pernah. Waktu Goethe ngadain lomba komik dalam rangka piala dunia jadi temanya tentang bola. Hehe”

Untuk yang baru mulai tertarik bikin doodle, Mba Tita punya tips nih. “doodle itu merekam yang dicatat” apa yang dialami, pilih satu highlight dan gambarkan. Simple kan? Karena doodle memang sebagai sarana informasi dan komunikasi yang gampang diserap. Selain itu graphic diary juga lebih untuk dikenang, nostalgiaan kalau dilihat di masa depan.

Tanggapan Seno Gumilar untuk karya Mba Tita juga memang langsung kepada ‘roots’ atau akarnya membuat doodle. Karya sederhana yang ringan dan merekam kelakuan/momen. Mba Tita ini kemana-mana bawa buku diary nya loh. Saya juga sempat diperlihatkan & mengintip sedikit isinya. Buku bersampul kulit warna hitam polos yang lumayan tebal dan tidak bergaris pada bagian halamannya alias polos. Disaat ada waktu luang, Mba Tita dipastikan ‘corat coret’ di diary itu. Uniknya memang semua gambar tidak diwarnai dan hanya menggunakan pulpen. “Dulu sih pernah coba diwarnai, tapi dengan kesibukan sekarang sepertinya gak sempat.” begitu menurut Mba Tita.

Sejumlah seniman gambar yang menjadi inspirasi bagi Mba Tita diantaranya adalah Eddie Campbell, Marjan Satrapi dan Craig Thompson. Walaupun masih asing di telinga saya, (thanks to Google) setelah ditelusuri mereka adalah illustrator, komikus dan pembuat graphic novel kelas kakap alias canggih pisan! Jadi ikutan nge fans nih saya, hehe. 

Yang juga seru adalah setiap tahun bertepatan dengan ultah CAB, tanggal 7 November selalu diadakan kegiatan membuat graphic diary selama 7 hari berturut-turut! Wow! Para pastisipan bisa mengirimkan link gambar mereka yang sudah diupload dan akan dibantu share oleh  website SEVEN . Bahkan juga ada closing dengan kegiatan workshop. Event kece bagi para ‘pencoret-coret’ alias doodle maker ini berlangsung sejak 2008. Kita lihat saja keriaan apa yang akan disuguhkan kembali di tahun ini :) asiknya gak semua yang ikut jago menggambar loh, bahkan ada yang minta ‘digambarin’ dan ada seorang suami yang minta dibuatkan gambar untuk mendiang istrinya. Bikin terharu deh. Intinya banyak kejadian seru lah selama 7 hari tersebut. 

Sama kayak saya yang excited berat dengar penuturan dari Mba Tita siang itu. Dengan cepat saya melirik jam di tangan kiri dan memutuskan untuk menyudahi interview kala itu. Disebelah saya sudah menunggu sesosok mahasiswa yang sepertinya ingin bimbingan dan alhasil dia menunggu saya berceloteh bersama Mba Tita. Hehe. Last question, saya wondering apa sih Good & Bad nya kota Bandung ini menurut Mba Tita.. 

“Good nya Bandung punya potensi komunitas kreatif dalam jumlah banyak. Bad nya pemerintah dan infrastruktur tidak mendukung.”

Setuju banget, Mba! Kemana-mana kayanya juga orang Bandung mah selalu kreatip, pake P. masih banyak kepedulian dari warga Bandung untuk menciptakan keunikan & sesuatu yang berbeda. Aneh dan nyeleneh di Bandung itu lumrah. Well, begitu pula dengan keunikan doodle khas Mba Tita yang selalu saya kagumi. Nekat kadang ada hikmahnya loh. Kenekatan itu sukses mengantarkan saya bertemu dengan salah satu idola saya, yaitu Mba Tita.




Terima kasih banyak atas kesediaan diganggu disela-sela kesibukan mengajar dan diajak ngobrol selama kurang lebih 45 menit. Sukses selalu untuk segala kegiatan dan terus menggambar ya Mba Tita :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar