Kalo sudah merasa hebat, seorang manusia cenderung
‘ninggi’
Dua kupingnya tidak akan cukup kuat untuk bertahan
mendengarkan
Bicaranya meracau dalam arti kata halus
Sesumbar apa yang saya juga sudah tau dia hebat akan
itu
Ketika saya dengan ‘seperti biasa’ menawarkan
memberikan tanpa pamrih kedua telinga saya untuk mendengarkan bagaimana
perasaannya hari ini, kisah cintanya yang itu itu, hingga ketertarikannya akan
sesuatu.
Saat itulah bibir saya seperti kelu menunggu giliran
Giliran untuk mengutarakan apa yang bisa terefleksi
dari ucapan
Salah kaprah sepertinya menjadi lumrah
Pada kasus saya, pancaran ketulusan rupanya belum
cukup menjadi magnet
Magnet untuk menghentikan segala pusat alam semesta
yang seolah-oleh berpindah pada dirinya
Sedetik kemudian ia berlalu dari hadapan, saat itulah
saya (biasanya) baru tersadar
Saya kembali dilihat sekilas saja
Tak cukup menarik dan sejajar dengan standar
Standar yang secara tidak sadar diciptakan untuk
kepuasan prestis
Tapi apa bisa dikata, tidak semua kebaikan itu dapat
terasa nyata
Seringkali kasat mata
Ketika ia merasa cukup tinggi kenapa harus bersanding
dengan yang relatif sedang
Kenapa kalau dia terlihat hebat, harus bersama yang
sepertinya biasa saja
Sejatinya bahagia itu cukup dirasa
Bahagia dan rasa menerima itu sudah cukup langka
Ketika yang dilihatnya kagi-lagi paras belaka
Hidup, kembali adalah pilihan
Pilihan dia untuk tidak memempatkan saya dalam pilihan
Pilihan saya untuk kemudian mendoakan dia mendapatkan
pendamping dengan ‘ketinggian’ yang setara
Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar