Aku tidak
suka diantara keramaian. Memaksa kupingku untuk dijejali celotehan sampah
tentang panasnya cuaca hari ini ataupun tren terbaru yang berlomba lomba
diikuti oleh remaja seumuranku. Ah aku sudah tidak remaja lagipula. Minggu
depan usiaku genap 20 tahun. Itu sebabnya pundak kiri yang baru saja ku tato
dengan aksara jawa berlafalkan nama Ibu masih terasa perih. Aku sudah bisa
membuat keputusanku sendiri. Arogansi transisi dari remaja menuju dewasa, kata
abangku satu satunya, Banyu.
Aku biasa
berjalan kaki. Entah aku malas berjejalan dengan penumpang angkot lain atau aku
terlalu menikmati kesendirianku berjalan kaki sepanjang jalan. Sesekali
mengabadikan hal yang menurut pandanganku menarik, menggunakan sebuah kamera
tua milik Ayah. Aku ingat saat Ayah memberikan kamera itu kepadaku. Banyu
cemberut tanda tak setuju. Rupanya ia sudah lama menginginkan kamera kesayangan
Ayah itu. Setelah tak bertegur sapa selama tiga hari akhirnya Banyu
menghampiriku sambil memamerkan kamera canggih tipe terbaru miliknya. Rupanya
uang tabungannya “ditambah” oleh Ayah. Syukurlah aku bisa bebas meminjam
koleksi kaset band di kamarnya lagi, pikirku. Setelah itu kadang kami pergi ke
hutan kota untuk mengisi waktu di akhir minggu, menjajal kemampuan kamera ku,
Broto dan kamera Banyu si Alexa. Ya, kami memberi nama pada kamera – kamera
itu.
Sampai mana
tadi? Ah iya. Sambil berjalan kaki aku mengambil beberapa gambar. Salah satunya
yang paling menarik adalah kala matahari terbenam di stasiun. Saat itu aku yang
jarang datang ke stasiun kemudian menyerahkan insting kepada kaki kaki ini. Aku
mempercayai kakiku untuk melangkah kemana hendak mereka. Aku menuju rel yang
paling sepi setelah melongok sebentar ke dalam gerbong kereta yang sedang
parkir di stasiun. Aku lebih memilih menyendiri bahkan di tempat keramaian
macam stasiun ini. Lantas kenapa ke stasiun? Entahlah. Saat aku berusaha
menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri, aku mengadah. Menatap langit.
Pukul enam kurang lima belas menit, itu yang kubaca dari jam tangan berbentuk kalkulator
mini yang melingkar di pergelangan tangan kiri ku.
Itu aku!
Pekik hatiku. Langit itu menghadirkan aku. Menghadirkan goresan selaput lembut
dengan pedar berwarna. Merah matahari bercampur dengan putih bersih awan dan
menyatu. Macam warna gulali di pasar malam. Yang kali ini agak oranye. Maka
kusebut itu aku. Itu jingga.
Aku
mengabadikan banyak jingga dalam hidupku. Selain stasiun, aku sudah berkelana
ke banyak tempat mencari ‘saudara – saudaraku’ yang lain. Halaman SD dekat
rumah, lantai paling atas kantor Ayah, padang rumput rahasia yang kutemukan
saat berjalan – jalan dengan Banyu tahun lalu, lapangan basket komplek, dan
balkon kamarku. Itu yang terdekat dan ternyaman. Banyu pernah berteriak dari
dalam rumah saat aku terlalu asyik melakukan ‘ritual’. Setelah lelah biasanya
Banyu akan kembali ke ruang makan menungguku disana bersama Ayah.
Rasanya
keanehan ku tak seberapa. Masih banyak diluar sana yang lebih aneh dari makhluk
macam aku. Terlebih yang hidup dibawah kepura-puraan. Jika Papua pernah disebut
Negara Boneka oleh Belanda, maka mereka itulah boneka sesungguhnya. Ya persetan
dengan orang lain yang masalah dalam hidupnya diciptakan sendiri. Aku memiliki
radar yang mengaitkanku bertemu dengan orang-orang ‘unik’ lain sepertiku.
Ah iya aku
pernah menemui seorang lagi. Laki – laki yang sepertinya sebaya denganku. Dalam
diamnya aku tau. Dia ‘sejenis’ denganku. Sama – sama tak suka keramaian dan
acuh tak acuh pada sekeliling yang bukan urusannya. Kita bertemu di toko buku
favoritku. Sialnya dia menduduki kursi yang biasa kududuki. Maka kuberikan dia
tatapan paling menyebalkan yang bisa kubuat. Pria ini telah menabuh genderang
perang. Lihat saja nanti, saat kita bertemu lagi entah kapan.
Rupanya aku
terlalu sibuk dengan buku ku hingga tak sadar pria itu sudah berlalu dan keluar
dari toko buku. Sekilas hanya punggung dan ransel warna coklat tua kumalnya
yang kutangkap dibalik pintu kaca toko. Ah tapi dia meninggalkan ‘jejak’.
Sebuah cangkir
hampir kosong. Hanya tersisa beberapa cm cairan berwarna coklat tipis dari
dasar cangkir. Seperti anjing pelacak aku cuek saja mengambil gelas itu dan
mengendus perlahan. Aneh? Memang. Aha! Aku kenal wangi ini. Wangi yang biasa
kuhirup dirumah saat Ibu ada. Wangi minuman yang disajikan Ibu di halaman
belakang rumah kala sore di hari sabtu.
Teh berperisa
peach. Singkatnya Peach Tea. Pria itu minum peach tea? Cih. Sok imut sekali,
pikirku. Tapi sikap sinisku itu cuma penutup dari rasa gembira yang akhir ini
jarang kubiarkan diriku untuk merasakannya. Sedikit aneh sekaligus tergelitik. Ini
bisa jadi ‘kasus detektif’ yang menarik, pikirku. Tapi kalau memang ia ternyata
‘penghuni tetap’ toko buku ini sepertiku, maka akan ada kesempatan berikutnya
untuk bertemu dengan pria itu.
Ya aku
tidak mau gembira lama – lama. Aku harus menyelesaikan buku ini sebelum pulang.
Hari sudah mulai sore. Akan kutangkap dimana ya senja hari ini? Dimana saja
asal terlewati dalam rute pulang. Sepertinya halaman rumah mungil tak
berpenghuni yang berjarak dua blok dari rumah bisa kujajal hari ini. Semoga tidak
ada hantu! Haha seperti aku percaya saja pada hal – hal semacam itu.
Kurapikan buku
dan ikatan tali sepatuku. Kulirik cermin saat melewatinya di samping kasir. Ada
pantulan wajah sedikit lelah namun masih menyiratkan harapan dan poni yang
kepanjangan membingkai wajah itu. Kacamata dengan frame milik Opa yang kuganti
lensanya cukup pas bertengger di hidungku walau sesekali harus kubetulkan
letaknya karena melorot.