Lekat – lekat saya memandang keluar. Pemandangan dari dalam
mobil travel yang membawanya ke Jakarta, tempat kelahiran saya, masih sama.
Masih membuat lamunannya memutar rekaman kejadian seminggu yang lalu.
-----
Dua cangkir bermotif garis biru muda muncul dengan asap
tipis mengebul ke udara. Sang pemilik gelas – gelas berisikan teh peach
tersebut masih sibuk menata kalimat dalam hati. Backsound toko buku kegemaran Pras dan Jingga seolah tahu
apa suasana yang tepat untuk mereka.
Ada yang tak sempat tergambarkan.
Oleh kata ketika kita berdua.
Hanya aku yang bisa bertanya, mungkinkah kau tau jawabnya.
Malam jadi saksinya kita berdua diantara kata yang tak
terucap.
Berharap waktu membawa keberanian untuk datang membawa
jawaban.
Mungkinkah kita ada kesempatan.
Payung
Teduh – Berdua Saja
Jingga akhirnya membuka percakapan, “Maaf tempo hari di
kolam renang ya Mas Pras.”
“Pras sajalah, Jingga. Saya tidak mau terdengar lebih tua
dari kamu. Ya hanya dua tahun lagipula.”
Saya mengeluarkan sebuah buku dengan sampul plastik dari
dalam ransel untuk kemudian saya sodorkan kepada Jingga.
“Ini yang saya ceritakan di sms kemarin, semoga bisa jadi
referensi ya.”
Sambil mengambil gelas teh, saya melirik kearah Jingga yang
langsung sibuk membuka halaman demi halaman. Diantara riuh rendah suasana kafe
saya mendengar langkah kaki yang saya hapal betul. Citra menghampiri perlahan.
Dengan santai wanita muda cantik dan langsing itu mendaratkan ciuman ringan di pipi
saya. Rupanya kebiasaan Citra belum berubah. Sekilas saya lihat Jingga
terhenyak pelan melihat pemandangan yang asing buatnya.
“Emang dikira disini LA apa? Main cium cium pipi orang. Huh”
Begitu isi hati Jingga, namun yang dilakukannya adalah meneguk teh peach tanpa
meniupnya terlebih dahulu.
“Auch. Panas.. “ Jingga menjulurkan lidahnya.
Pemandangan yang juga sangat langka untuk saya. Saya
mempersilahkan Citra duduk bergabung.
“Jingga, kenalkan ini Citra. Teman lama saya sewaktu ikut
ayah tugas ke Riau. Sekarang Citra sudah semester akhir di fakultas Komunikasi.”
“Hallo Jingga ya? Wait, kayaknya kita pernah ketemu di
kampus deh. Acara ulang tahun kampus beberapa minggu lalu. Kamu dan teman –
teman mu buka stand untuk mengumpulkan buku bekas ya?”
Jingga polos mengangguk. Wah selain cantik, si Citra ini
rupanya ngenalin sosok gue. Gak misterius lagi deh. Tentu saja itu semua
diucapkan Jingga dalam hati.
“Okay, jadi karena kalian satu kampus jadi saya gak perlu
repot repot mengakrabkan kalian ya.” Sedikit tersenyum nakal Pras membuat
kesimpulan.
Adegan selanjutnya bisa ditebak. Citra hampir mengambil alih
obrolan Jingga dan Pras yang tadinya kaku jadi semarak bak taman kota di sore
hari.
Empat puluh menit kemudian Jingga mendapat pesan singkat
dari Banyu, abangnya. “Pras, Citra. Such a nice afternoon with you two. Tapi
aku harus pergi. Baru ingat ada janji sama Mas Banyu. Is it OK?”
Pras nampak cukup kaget terlebih dalam hatinya ia masih
ingin berada dekat orang – orang yang bisa membuatnya sedikit lebih ‘hangat’
dan bebas mengekspresikan dirinya. Citra, si sahabat lama yang menyenangkan dan
Jingga, si mungil yang selalu membuat Pras penasaran.
“Ada sesuatu yang urgent kah? Mari saya antar. Gak apa kalau
naik motor?”
Citra yang datang naik taksi juga cukup mandiri untuk pulang
sendiri. “Aku gak apa Pras, habis ini juga ada janji sama temanku di taman. Darren
kamu masih inget kan? Dia minta aku jadi talent untuk line tas nya yang baru.
Kamu antar Jingga saja.” Sambil tersenyum Citra, menoleh ke Jingga.
Aduh aku jadi nggak enak nih, batin Jingga dalam hati. Tapi
diantar sama Pras juga aku susah nolak sih. Haha.
Setelah berpisah, Jingga yang sekarang duduk di boncengan
motor Pras mencoba menikmati momen penuh kejutan ini. Diatas kepalanya mulai
muncul semburat warna keemasan. Ya warna jingga khas datanganya sang sore.
“Syukurlah masih cerah”, gumam Jingga perlahan. “Ya, kenapa
Jingga?”, suara Pras yang datar bercampur dengan deru angin. “Hmm, nggak kok
Pras. Kita sudah dekat. Di depan belok kanan ya.”
Pras mengikuti langkah kaki Jingga masuk ke sebuah pemakaman
umum. Tampak dari jauh Mas Banyu dan Tita pacarnya menyambut kedatangan mereka.
“Mas, sori ya gue telat. Kalau gak baca sms kayaknya bablas. Makin pikun aja
nih hehe. Yuk Mas, kita mulai.”
Bebas dari kesan duka cita dan kelam, keluarga kecil ini
kemudian berkumpul mengelilingi sebuah makam yang terawat rapi, nisan yang
berwarna marmer krem. Disitu tertulis, Sekar Ardiwilaga. Pras menutup mata dan
mengamini setiap doa yang terucap.
-----
Mobil travel sudah berhenti di poolnya. Kawasan Sarinah,
Thamrin. Hawa panas sapaan khas ibukota tak ayal menimbulkan titik titik air di
dahi dan sela rambut gondrong Pras yang sudah mencapai bahu. Dengan cepat ia
mengetik pesan singkat di handphone. Datanglah balasan berbunyi “Iya, gue lima menit
lagi sampai. OTW bro, oke-tungguan-weh. Haha” Pras berjanji akan meninju lengan
Reza ketika nanti ia sampai.
Mata yang menghilang ketika tertawa lebar itu makin
menghilang ketika melihat Pras merengut di pool travel yang hanya berhiaskan
kipas angin tua. “Aduh, bapak seniman kita kepanasan ya? Nanti aku beliin teh
botol deh”. Pras menghampirinya dan seperti janjinya tadi.. “ADUH! Galak amat
lo. Udara Jakarta bikin lo gampang dendam ya” misah misuh Reza mengelus
lengannya yang diberi ‘sapaan tinju mesra ‘ oleh Pras.
Mereka
berdua berjalan menuju Galeri yang tak jauh dari sana.