Duaar. Kilatan cahaya menyambar diatas kepalaku. Semburan lengking terompet kertas memekakkan telinga. Celoteh dan gelak tawa riang seolah tanpa beban. Aku meneguk pelan soda dalam gelas plastik. Selamat tahun baru 2014, si pembawa acara melengkingkan suaranya, tak mau kalah dengan riuh rendah suasana.
Masih lekat dalam ingatan, bagaimana
hari ini dimulai. Aku mengantar pesanan roti dan kue. Mereka begitu manis
sampai aku ingin menggigitnya lalu menaruhnya kembali dalam keranjang. Tapi itu
mustahil mengingat kiriman ini untuk pelanggan tetap ibuku. Seperti biasa Tante
Marlina akan memesan kue bolu coklat dengan taburan buah dan krim untuk acara
special macam hari ini. Doaku cuma satu, semoga yang membuka pintu bukan si
kacamata tanpa raut bahagia, Sam.
Fyuh, rupanya Mba Kirana, anak pertama
yang tengah menempuh pendidikan profesi dokternya yang membuka pintu. Aku
diajaknya masuk, seperti biasa langsung ke ruang makan. Melewati ruang keluarga
dengan sejumput rambut hitam yang menyembul dari balik sofa. “Makasih ya Kimi
sayang, nanti malam kamu datang jam berapa sama mamah?”
“Aku sepertinya ada acara, tante. Mamah
sama Mas Indra mungkin yang kesini. Makanya aku yang anter kuenya sekarang.”
Sedikit berkilah ditambah senyum semanis mungkin. Tidak mungkin Tante Marlina
tidak memakluminya.
“Sam. Kamu nanti malam juga mau keluar
kan? Sekalian antar Kimi ya. Mas Indra kan nanti kesini, kasian Kimi gak ada
yang antar.”
“He? Mau cabut jam berapa lo Kim?” si
empunya suara kemudian mendekat. Tetap dengan rautnya seperti biasa. Walaupun
hari ini dia terlihat sedikit berbeda. Oh iya, frame kacamatanya baru.
“Jam delapan deh. Makan malam disini
dulu ya, Tante? Gak apa?”
Sam mengangguk dan ngeloyor masuk ke
kamar. Aku berpamitan.
--
Mobil melaju konstan. Malam ini Sam
akan mengantarku ke sebuah restaurant kecil namun intim milik sahabatku. Dengan
ujung mata aku mencoba menangkap pemandangan langka di sebelahku. Tetap Sam,
dengan rambut hitamnya yang rapih dipangkas pendek, setelan kemeja biru muda berbalut sweater
hijau tua bermotif coklat dan celana jeans gelap. Wangi parfumnya mengisi
rongga paru – paruku tanpa protes karena wanginya segar dan menyenangkan (wait,
aku baru saja berpikir wangi Sam menyenangkan? Oh God). Sepatunya adalah model
yang sudah lama kuincar di toko sepatu langgananku. Blah kenapa dia harus punya
duluan, pikirku. Dan bisa saja dia memutar lagu Tame Impala favoritku. Sambil
melamun aku menyanyi Feels Like Only Go Backwards. Mencoba membagi konsentrasi.
Diantara deret detail tersebut tersisa
sesuatu yang janggal. Nampak seutas senyum tipis namun terus mengembang
sepanjang perjalanan. Membaca pikiran adalah hal paling ingin kuinginkan
sekarang. Apa dia menertawakan bajuku? Atau sepatu kanvasku yang sudah buluk
ini?
“Kita sudah sampai, Nona Kimi. Jangan
ada yang tertinggal.” Aku terjaga dari lamunan dan bergegas mengambil tas di
jok belakang. Sam menuju pintu reataurant dan mengunci pintu mobil dengan
remote. Apa –apaan dia ikut masuk, pikirku.
Pertanyaanku terjawab saat Utari mengecup
pipi kiri Sam. Well done, sahabatku itu menyimpan sesuatu yang lebih
spektakuler ketimbang pesta kembang api dan sajian special makan malam special.
“Kim, kamu temannya Sam kan jadi nggak
usah aku kenalin lah ya.”
“Iya, Tari. Surprise banget ya kamu belum
cerita.”
Tari tertawa kecil, “Surprise dong Kim,
tapi selama ini Sam cerita tentang kalian kok. Jadi aku juga bisa santai dan
gak berniat buru – buru cerita. Toh malam ini kita semua kumpul kan”
Aku menuju meja dengan deretan minuman
memenuhi permukaan. Mendadak aku rasanya ingintiduran dirumah dan memutar musik
kencang – kencang. Tapi terlambat, Utari memanggil untuk bergabung memulai
acara. Soda itu kutuang penuh kedalam gelas. Kuteguk perlahan. Ini akan jadi
malam yang panjang.
--
Jadi senyum itu untuk Utari, jadi
selama ini aku menyimpan rasa pada Sam. Jadi selama ini aku rindu kalau tidak mengantar
pesanan kue Tante Marlina. Jadi aku di mobil mengagumi penampilannya dan
membayangkan ia akan menatap kearahku, senyumnya untukku. Jadi aku terlambat.
Jadi aku harus menyembunyikan kekecewaan pada Utari dan mendukung mereka dengan
senyum tulus.
Duarr, ini sudah gelas soda ketiga.
Mari kembali kedalam ruangan. Kilatan cahaya kembang api diatas kepala membuat
wajahku terang akan cahaya dan menyilaukan mata. Hingga tak bisa menyembunyikan
kesedihan atas apa yang terjadi malam ini. Sayup sayup kudengan pembawa acara
bersorak “Mari kita sambut tahun baru yang penuh harapan.”
Blah, aku mengunci pintu kamar mandi
dan membiarkan dua butir air mata mengalir perlahan.
-----
"ini
adalah project Fanni & Rofida Amalia. Dua perempuan yang belum
pernah bertatap muka namun saling mengenal satu sama lain melalui
komunitas bernama @cardtopost. Kegemaran Rofida mengirimi Fanni kartupos
dengan hasil jepretan pribadinya membuat Fanni tertarik untuk
'melantunkan kalimat' melalui gambar - gambar pilihan Rofida. Setelah
berbalas kartu ketiga, Fanni memberanikan diri untuk 'meminang' foto
Rofida dan menjadikannya sebuah project suka suka nan bahagia. Sejatinya
hanya ingin kembali menulis melalui dorongan gambar indah dan menjalin
silaturahmi 'naik tingkat' setelah melalui kartupos. Semoga berkenan.
Salam, Fanni & Rofida."