Masih lekat dalam
ingatan beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Sabtu selepas menghadiri
TEDxUnpad aku diajak Dimas Prabowo, mampir kerumah salah seorang sahabatnya
yang terletak di dekat Ciumbuleuit ujarnya.
“Mereka suka
ngajar anak-anak kecil disekitar rumah, Fan. Kamu juga suka ngajar kan? Bantuin
mereka yuk!”
Entah aku yang
terlalu pikun untuk mengingat apa aku pernah berujar seperti itu pada Dimas
tapi yang jelas ‘todongan’ itu seperti menjadi tantangan untukku sore itu.
Baiklah ketika aku bertanya siapa nama sahabat Dimas yang rumah nya akan kita
sambangi sore itu, aku terkejut.
“Tito Tessa, Fan.
Mereka pasangan. Teman dekatku dari Rainbow Gathering kemarin.”
Wait, aku terpekik
dalam hati. Bandung memang selalu mengejutkan dengan seberapa dekat lingkaran
hubungan antar manusia di dalamnya. Baru beberapa hari yang lalu aku like FB
page Tito-Tessa dan mereka temannya Toro juga ternyata. Ah, kesampingkan dulu
kemungkinan mereka temannya temanku yang lainnya (mulai rumit bahasaku).
Kejutan berikutnya
hadir ketika aku dan Dimas turun angkot tidak persis di jalan Ciumbuleuit,
melainkan sebelum gandok, di jalanan menurun masuk gang perkampungan bantaran
sungai cikapundung yang selama ini hanya kulihat dari kaca angkot setiap menuju
simpang dago ataupun ITB sana.
Menuruni jalan,
seperti memasuki sebuah kota kecil di dalam kota Bandung yang fana ini
(ceilah). Seperti perkampungan pada umumnya, rumah kecil berhimpitan, jalan
yang masih didominasi oleh tanah dan kontur jalan yang membuat kami seperti
sedang olahraga sore. Naik turun dan cukup meliuk kedalam. Sekitar 10 menit
kemudian sampailah didepan sebuah pintu berwarna hijau pekat dengan dinding
rumah warna putih. Hatiku kembali berbunyi genderang perang. Deg-degan. Aku
tipe yang pemalu kalau ketemu orang yang aku kagumi (lebay).
Sampai di dalam
aku berkenalan dengan Tito dan Tessa, bercerita banyak dan aku jatuh hati pada
pasangan ini. Mereka merendahkan hati untuk meninggalkan kostan masing-masing
untuk kemudian tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan sederhana. Mereka
membuka sebuah sekolah sore dengan 2 sesi kelas untuk adik-adik kecil mulai jam
4 sore, lalu yang usia SD kelas 4-6 setelah maghrib.
Ide untuk membuka
kelas les gratis untuk anak-anak sekitar kontrakan mereka ini spontan dilakukan
oleh Tito sekitar 2 minggu yang lalu. Tapi mereka tidak main-main. Tito-Tessa
melakukan dengan sepenuh hati. Tessa yang memang punya background mengajar
anak-anak kurang beruntung sejak di Jakarta, menyiapkan segala keperluan
mengajar dengan sempurna. Termasuk memboyong semua koleksi buku masa kecilnya, menyiapkan
papan tulis, kertas lipat hingga buku absen & nilai.
Awalnya aku hanya
berniat membantu sedikit, semampuku, ikut berbagi gelak tawa dengan mereka.
Ternyata aku tak kuasa. Aku ikut larut dengan kehadiran sekitar 10 adik kecil
yang semangat sekali sore itu. Sementara Tessa memeriksa pekerjaan rumah mereka
(ya, Tessa selalu memberi mereka PR) aku mengajak mereka mengobrol dan akhirnya
mereka mengelilingiku. Tidak menganggap asing kehadiranku yang baru sekali itu.
Aku mengajak mereka menyanyi, kemudian dituruti oleh Tessa juga. Ia dengan
sigap mendampingiku namun tidak membatasi ruang gerakku bersama anak-anak. Rasa
kagum pun kembali kurasakan saat Tessa bisa dengan tegas menegur dan mendidik
mereka dengan disiplin. Terlebih Tessa juga mengajarkan untuk memulai kelas
dengan membaca bismillah dan Al-Fatihah.
Sore itu menjadi
pengalaman paling menyenangkan yang kurasakan bersama teman baru dan pengalaman
baru. Kuedarkan pandanganku mengelilingi rumah sederhana namun bersahaja ini.
Di beberapa sudut terdapat guratan garis hitam yang dibuat oleh Tessa, kontras
dengan satu sudut penuh kertas lipat warna-warni hasil karya Tito-Tessa dan
anak-anak. Di satu sisi dinding, terpampang dengan cantik sebuah peta Indonesia
dengan media kain dan batik. Dikelilingi oleh lampu berkerlip cantik seperti
lampu di pohon natal. Saat bercerita tentang pengalaman jalan-jalan, Dimas
kemudian mematikan lampu ruangan dan hadirlah kerlap kerlip cantik bagai
bintang di langit, cahaya dari lampu natal tersebut. Anak –anak semakin larut
dalam cerita.
Sebait kalimat
tepat diatas peta Indonesia & lampu natal tersebut yang membuat pandanganku
lama terdiam disana.
“Home is where
your heart is”
Kalimat itu tidak
terdengar asing di telingaku. Namun membacanya di rumah ini, bersama dengan
Dimas, Tito, Tessa dan dikelilingi oleh anak-anak membuatku darahku berdesir.
Rumah ini tidak memiliki barang mewah, melainkan ‘sedikit’ berantakan dan
sederhana khas mahasiswa, mencerminkan sang pemilik rumah. Tapi kebahagiaan
seolah menyelimuti dan memenuhi setiap ruangan di rumah ini. Kehangatan celoteh
Tessa, petikan gitar dan sunggingan senyum Tito membuat aku seperti memiliki ‘rumah’
baru. Ya, rumah itu dimana ketika kita merasa hangat dan nyaman didalamnya.
Terima kasih Dimas
sudah mengenalkanku pada Tito, Tessa dan segala kebaikan mereka untuk
menerimaku dengan tangan terbuka sekaligus ‘menodongku’ untuk membantu
mengajar, hehe. Semoga aku bisa segera bertemu lagi dengan kalian. Semoga kita
saling merindu untuk kemudian bertemu kembali dan berkelakar hingga pagi. sayang sekali kemarin aku tak sempat mengambil gambar. alhasil ini aku kenalkan Tito-Tessa secara virtual dengan foto mereka saja ya :)
you'll find your home if you open your heart
Tidak ada komentar:
Posting Komentar