Aku diletakan ditempat biasa. Dimuka rumah bilik bambu. Bersama dengan cangkul dan peralatan bercocok tanam lainnya. Hari ini aku cukup lelah. Pemilikku bekerja lebih giat. Sejak hari gelap, ayam masih berkokok dari kandangnya, tuanku sudah mengajakku ke ladang. Anaknya sakit. Dari tempat biasa ini aku bisa mendengar rintihan dan suara batuknya.
Biasanya tuan perempuanku membasuhku
dengan air setiap sore. Aku dipersiapkannya untuk menjadi alas yang bersih dan
siap untuk membantu tuanku bekerja. Tak pernah sekalipun tuanku melangkah
lemas. Terkecuali pagi tadi.
‘Biaya berobat harus kucari kemana ya.
Aku yakin panen minggu ini cukup untuk berobat. Menunggu sampai tiga hari lagi
apa Opik bisa bertahan. Ah semoga.’
Saat itu langkahnya agak tertatih.
Tuanku yang biasanya melangkah tegap nampaknya sedikit lunglai. Pematang sawah
dilewatinya datar, tanpa siulan seperti biasa. Aku merasa lemah. Koneksi dengan
sang tuan nampaknya bisa melewati karet sol tebal. Aku seperti menyatu dengan
kulit, desiran darah dan degup jantung. Kali ini kehidupan menguji tuanku dalam
caranya.
Hingga suatu malam sebelum tuanku
beranjak beristirahat terdengar ketukan di pintu. Rupanya seorang pemuka desa
datang menjenguk anak tuanku yang sakit. Setelah berbincang, pembicaraan
mengarah pada tawaran untuk menjual sawah. Rupanya pemuka desa tersebut ingin
mendirikan sebuah toko kelontong dan memperluas sawah yang dimilikinya. Tuanku
tertunduk lesu. Aku menunggu jawaban tuanku dengan cemas. Namun tamu tuanku
harus puas pulang tanpa jawaban. ‘Terima kasih atas tawarannya Pak, mohon maaf
saya belum bisa memutuskan sekarang.’ Begitu terakhir sayup terdengar.
Panen yang dinanti tiba. Semarak
penduduk desa saat hasil panen mencapai harapan menjadi pemandangan di tiap
sudut. Tuanku ikut sukacita. ‘Opik akan kembali sehat dalam waktu dekat.’
Begitu gumaman tuanku. Hari ini aku bergulat dengan lumpur, jalanan berbatu,
dan becek dalam genangan. Tanpa lelah tuanku mengerjakan pekerjaannya dengan
sigap. Saatnya pulang. Tak lupa aku dibasuhnya dengan air dan menjejak kepadaku
dengan penuh pengharapan.
Disimpannya aku hati-hati dimuka rumah
bilik bambu. Di dalam tuan wanita ku menjawab salam. Opik membuka mata
perlahan, mencoba duduk dipinggir dipan. Tuanku membawakan makanan kesukaan
Opik. Pria muda itu tersenyum sekilas. ‘Bapak ndak jadi jual sawah ya, Pik. Bapak
mau ngolah sawah kita untuk biaya sekolah kamu ke SMA.’ Opik mengangguk.
-----
"ini adalah project Fanni & Rofida Amalia. Dua perempuan yang belum pernah bertatap muka namun saling mengenal satu sama lain melalui komunitas bernama @cardtopost. Kegemaran Rofida mengirimi Fanni kartupos dengan hasil jepretan pribadinya membuat Fanni tertarik untuk 'melantunkan kalimat' melalui gambar - gambar pilihan Rofida. Setelah berbalas kartu ketiga, Fanni memberanikan diri untuk 'meminang' foto Rofida dan menjadikannya sebuah project suka suka nan bahagia. Sejatinya hanya ingin kembali menulis melalui dorongan gambar indah dan menjalin silaturahmi 'naik tingkat' setelah melalui kartupos. Semoga berkenan. Salam, Fanni & Rofida."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar